Kenakalan
remaja bukanlah fenomena baru, namun hingga kini tetap menjadi salah satu
masalah sosial yang terus disorot. Dari tawuran antar pelajar, penyalahgunaan
narkoba, pergaulan bebas, hingga kenakalan di dunia maya, berbagai bentuk
perilaku menyimpang remaja sering muncul dalam pemberitaan media massa. Setiap
kali peristiwa itu terjadi, masyarakat pun bertanya-tanya: di mana letak
kesalahannya? Apakah perilaku remaja yang menyimpang merupakan gejala dari
kondisi sosial yang tidak sehat, ataukah tanda kegagalan sistem pendidikan
dalam membentuk karakter anak muda?
Pertanyaan ini
menjadi penting karena menyangkut masa depan generasi penerus bangsa. Jika kenakalan
remaja dianggap sekadar gejala sosial, maka solusi yang ditawarkan cenderung
berfokus pada perbaikan lingkungan masyarakat. Sebaliknya, jika dilihat sebagai
kegagalan pendidikan, maka kritik akan tertuju pada sistem sekolah dan metode
pembelajaran yang diterapkan. Padahal, bisa jadi kedua perspektif itu saling
berkaitan erat. Artikel ini akan mencoba membahas secara mendalam tentang
bagaimana memahami kenakalan remaja dari dua sudut pandang tersebut.
Definisi dan Bentuk Kenakalan Remaja
Secara
sederhana, kenakalan remaja dapat didefinisikan sebagai perilaku yang
menyimpang dari norma sosial, hukum, maupun nilai moral yang berlaku di
masyarakat. Dalam kajian psikologi, kenakalan remaja sering dihubungkan dengan
masa pencarian jati diri. Erik Erikson, seorang tokoh psikologi perkembangan,
menyebut masa remaja sebagai periode “identity versus role confusion”, di mana
individu berusaha menemukan identitasnya. Jika proses ini gagal, remaja bisa
mencari pelarian dalam bentuk perilaku menyimpang.
Sosiologi
memandang kenakalan remaja sebagai produk interaksi sosial. Lingkungan
keluarga, kondisi ekonomi, serta kelompok sebaya sangat menentukan apakah
seorang remaja akan memilih jalur positif atau negatif. Sementara dari
perspektif pendidikan, kenakalan remaja sering dikaitkan dengan lemahnya proses
pembinaan karakter, kurangnya pengawasan, serta keterbatasan fasilitas untuk
menyalurkan energi dan kreativitas remaja.
Bentuk
kenakalan remaja sangat beragam, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Beberapa
contoh di antaranya adalah:
·
Membolos sekolah, melawan guru, atau menurunnya
motivasi belajar.
·
Tawuran antar pelajar dan tindak kekerasan.
·
Penyalahgunaan narkoba, minuman keras, dan
rokok.
·
Pergaulan bebas, seks pranikah, dan perilaku
menyimpang lainnya.
·
Kenakalan digital, seperti cyberbullying, ujaran
kebencian, kecanduan game online, hingga penyebaran konten pornografi.
Dengan
keragaman bentuk ini, muncul pertanyaan besar: apa yang sebenarnya menjadi akar
masalah?
Kenakalan Remaja sebagai Gejala Sosial
Banyak pakar sosiologi berpendapat bahwa kenakalan remaja lebih tepat dipahami sebagai gejala sosial. Alasannya sederhana: perilaku remaja merupakan cerminan dari kondisi lingkungan tempat mereka tumbuh.
Pertama, faktor
keluarga menjadi sangat menentukan. Anak yang tumbuh dalam keluarga
broken home, kurang kasih sayang, atau minim pengawasan cenderung lebih rentan
terhadap pengaruh buruk. Konflik keluarga yang berkepanjangan membuat remaja
mencari pengakuan di luar rumah, yang sering kali mereka temukan pada kelompok
sebaya yang tidak sehat.
Kedua, factor
ekonomi dan kesenjangan social juga berpengaruh. Remaja dari keluarga miskin
kadang terpaksa putus sekolah, bekerja di usia dini, atau bahkan terjerumus ke
dunia kriminal demi bertahan hidup. Ketidaksetaraan sosial melahirkan rasa
frustasi dan keinginan untuk melawan sistem.
Ketiga, faktor
pengaruh teman sebaya (peer group). Pada usia remaja, pengaruh teman
sebaya sering kali lebih kuat daripada nasihat orang tua. Jika seorang remaja
berada di lingkungan pertemanan yang positif, mereka akan terdorong untuk
berprestasi. Sebaliknya, jika lingkungannya buruk, maka kenakalan menjadi hal
yang lumrah dilakukan.
Keempat, peran
media massa dan media digital, Akses yang semakin luas ke internet
membuka peluang bagi remaja untuk mengonsumsi konten negatif. Tren gaya hidup
instan, kekerasan, hingga pornografi dapat membentuk perilaku yang menyimpang.
Dengan melihat
faktor-faktor tersebut, jelas bahwa kenakalan remaja tidak bisa dilepaskan dari
kondisi sosial di sekitarnya. Ia adalah cermin dari masalah struktural yang
lebih luas.
Kenakalan Remaja sebagai Kegagalan Pendidikan
Di sisi lain,
tidak sedikit pakar pendidikan yang menilai kenakalan remaja adalah bukti nyata
dari kegagalan pendidikan. Sekolah,
yang seharusnya menjadi tempat pembinaan karakter, sering kali terlalu
menekankan aspek kognitif (pengetahuan) dan melupakan aspek afektif (sikap dan
nilai).
Pertama,
kurikulum yang padat dengan materi akademis membuat pendidikan karakter sering
terpinggirkan. Padahal, nilai-nilai moral, etika, dan keterampilan sosial sama
pentingnya dengan prestasi akademik.
Kedua,
guru sering kali dipandang hanya sebagai pengajar, bukan pembimbing. Padahal,
remaja membutuhkan figur yang bisa dijadikan teladan. Guru yang hanya fokus
pada nilai ujian cenderung gagal membentuk pribadi siswa yang utuh.
Ketiga,
sekolah kadang tidak menyediakan fasilitas yang cukup untuk menyalurkan energi
remaja. Minimnya kegiatan ekstrakurikuler yang menarik membuat siswa mencari
pelarian di luar sekolah, yang berpotensi menjerumuskan mereka.
Keempat, lemahnya sistem bimbingan
konseling di sekolah. Banyak siswa yang menghadapi masalah pribadi atau
keluarga, namun tidak memiliki tempat untuk bercerita dan mencari solusi.
Akibatnya, mereka mencari pelarian melalui kenakalan.
Dari sudut pandang ini, kenakalan remaja dipandang sebagai konsekuensi dari sistem pendidikan yang gagal mendidik anak secara holistik.
Perspektif Perbandingan
Jika
dibandingkan, kedua perspektif ini sebenarnya saling melengkapi. Kenakalan
remaja memang bisa dipandang sebagai gejala sosial, karena dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan, keluarga, dan media. Namun, pada saat yang sama, kegagalan
pendidikan juga memperparah masalah karena sekolah tidak mampu berfungsi
sebagai benteng moral.
Dengan kata
lain, kenakalan remaja bukan hanya gejala
sosial atau kegagalan pendidikan,
tetapi keduanya sekaligus. Remaja hidup dalam masyarakat yang penuh tantangan,
dan mereka membutuhkan pendidikan yang kuat untuk membentengi diri. Ketika
masyarakat bermasalah dan pendidikan gagal, maka kenakalan menjadi konsekuensi
yang sulit dihindari.
Peran Orang Tua, Sekolah, dan Masyarakat
Pencegahan
kenakalan remaja memerlukan sinergi dari tiga pilar utama: orang tua, sekolah,
dan masyarakat.
·
Orang tua
berperan sebagai pendidik pertama dan utama. Mereka harus memberikan kasih
sayang, teladan, serta pengawasan yang cukup.
·
Sekolah
bertanggung jawab membentuk karakter melalui kurikulum yang seimbang, pembinaan
moral, dan kegiatan ekstrakurikuler.
·
Masyarakat
perlu menyediakan lingkungan yang sehat, mulai dari fasilitas publik hingga
kontrol sosial yang positif.
Sinergi ini
memastikan remaja tumbuh dalam ekosistem yang kondusif, sehingga peluang
kenakalan dapat ditekan seminimal mungkin.
Kenakalan Remaja di Era Digital
Fenomena
kenakalan remaja kini semakin kompleks dengan hadirnya era digital. Jika dulu
tawuran atau penyalahgunaan narkoba menjadi isu utama, kini muncul bentuk
kenakalan baru seperti cyberbullying, kecanduan game online,
sexting, hingga penyebaran hoaks.
Tantangan ini
membuat peran orang tua dan sekolah semakin berat. Orang tua tidak cukup hanya
mengawasi anak secara fisik, tetapi juga perlu mendampingi mereka dalam dunia
digital. Sekolah pun perlu memasukkan literasi digital sebagai bagian dari
kurikulum, agar siswa bisa lebih bijak menggunakan teknologi.
Era digital
menegaskan bahwa kenakalan remaja tidak hanya berakar pada faktor sosial atau
pendidikan, tetapi juga transformasi teknologi yang mengubah cara remaja
berinteraksi dengan dunia.
Kenakalan
remaja adalah fenomena kompleks yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan satu
perspektif. Ia bisa dipandang sebagai gejala
sosial, karena dipengaruhi oleh faktor keluarga, lingkungan, ekonomi, dan
media. Pada saat yang sama, ia juga merupakan kegagalan pendidikan, karena sekolah sering kali lalai dalam
membentuk karakter dan menyediakan pembinaan yang menyeluruh.
Oleh karena
itu, solusi yang ditawarkan harus bersifat komprehensif. Orang tua, sekolah,
dan masyarakat harus berkolaborasi dalam membangun ekosistem yang sehat bagi
remaja. Di era digital, tambahan strategi berupa literasi digital dan
pengawasan teknologi juga mutlak diperlukan.
Pada akhirnya, kenakalan remaja seharusnya
dipandang bukan semata-mata sebagai masalah individu, tetapi sebagai cerminan
dari kegagalan kolektif kita dalam membangun sistem sosial dan pendidikan yang
sehat. Dengan kesadaran itu, diharapkan lahir generasi muda yang lebih tangguh,
bermoral, dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Referensi :
Ali, M., & Asrori, M. (2018).
Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hurlock, E. B. (2012). Psikologi
Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kartono, K. (2017). Patologi
Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
Sarwono, S. W. (2011). Psikologi
Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sudarsono. (2016). Kenakalan
Remaja: Prevensi, Rehabilitasi, dan Resosialisasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Yusuf, S. (2017). Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
